satriafii's Reviews (251)


Elsa dan Neneknya. Awalnya aku menyangka mereka nyaris sama, setidaknya serupa, karena cocok satu-sama lain. Pandanganku akan hubungan keduanya sedikit tidak sesuai dengan cerita yang diantarkan oleh Fredrik Backman disini. Aku tidak pernah dekat dengan Nenekku, jadi aku tidak tahu bagaimana rasanya. Tapi aku tahu, sebagai dua orang manusia, Elsa dan Neneknya memang bisa saling menjadi pahlawan super.
Dari banyak buku 'klasik' yang dibahas Elsa, Harry Potter banyak mengambil tempat. Tentu saja selain X-Men, Hobbit, dan lainnya. Di bagian akhir bahkan banyak referensi buku, film, dan teater yang muncul.
Cara Elsa menyajikan Miamas seakan itu nyata juga sangat menarik. Mengingat aku juga punya dunia semacam itu sendiri, tapi tidak pernah menceritakan kepada orang lain dengan PD seperti Elsa disini. Menarik, betapa Elsa bangga dengan dunianya dan memperjuangkannya. Kalau memang ada Elsa yang demikian, kurasa dia sangat heroik.
Satu lagi hal menarik disini. Pembahasan tentang teknologi yang dibawakan Elsa dan betapa orang-orang di sekitarnya masih gaptek dengan itu. Penggambaran yang valid dari pandangan seorang anak.
Hanya saja, penekanan bahwa Elsa adalah anak berusia nyaris delapan tahun di beberapa bagian membuatku melompatinya.
Cara pandang Elsa akan dunia juga di awal membuatku agak bingung membedakan mana dunia nyata yang sedang dia hadapi dan mana Miamas yang sedang dia ceritakan. Tapi lama kelamaan aku malah jadi menyukai dan terhanyut dalam dua dunia yang berbeda itu. Karena Miamas memang ada, dan dunia nyata memang sedang ada.

Akhir kata, cucu Nenek yang satu ini memang hebat. Dia kesatria yang benar-benar kesatria.

Pengen kasih rating lebih dari 5 bintang

Sempat mangkrak beberapa hari di shelf gramdig-ku begitu aku buka dua halaman pertama.
Alasannya sederhana dan subjektif saja, adegan gigit nadi. Buatku penggambarannya begitu nyata dan menyakitkan sampai pergelangan kiriku ikut ngilu sendiri. Pada titik ini, aku berharap ada seseorang baik hati di luar sana yang pernah memberikan trigger warning pada buku seperti ini. Semoga ada, hanya aku saja yang belum baca.
Bukan masalah besar, hanya sedikit kurang nyaman saja saat awal-awal membaca.
Sepanjang cerita, suguhan semangat dan keberanian Magi Diela diiringi logat bicaranya yang entah kenapa bisa sampai ke telingaku tergambar apik. Empat jempol untuk penulis. Apalagi setelah tahu kalau penulis hanya tinggal di Sumba beberapa waktu saja. Keren.
Sekian dan terima kasih.

Bintang 3 untuk bahasa yang mudah dipahami yang dipakai oleh penulis, beberapa poin yang menarik dan menyenangkan untuk dibaca, dan keluasan pembahasan yang dilakukan.

Agak bosan di bagian akhir. Bahkan saat sudah selesai reaksiku adalah: "Woah. Akhirnya." Seakan sudah keluar dari penjara yang pengap.

Baru aja datang pagi ini. Aku kabur sejenak dari kerjaan dan skripsi dengan buku tipis yang nano-nano ini.

Satu saja komen dariku: buku ini butuh dua tiga kali baca dan seribu kali pemahaman. Satu-satunya cerita yang langsung masuk akal buatku adalah Kursi Manusia. Suara Misterius masih perlu kupahami lebih lanjut. Apalagi yang lainnya.

Tentu saja, Lemon. Perlu, sangat perlu kupahami lagi. Cerita yang satu ini menarik, tapi aku masih samar dimana menariknya.

Aku suka dengan penjelasan dan pilihan kata yang dipakai disini. Beberapa bagian terdengar sedikit kejam untuk seseorang yang "mengaku" memiliki trauma sepertiku. Tapi beberapa bagian justru mengingatkanku pada ajaran-ajaran yang kerap kali ditanamkan padaku. Ya, itu salah satu kemewahan yang baru aku sadari. Tidak pernah dituntut, tidak pernah dibebani ekspektasi, bahkan tidak pernah dibebani dengan "piutang" yang harus aku bayarkan. Ringan saja, memang hidup yang demikian. Tapi, kesepian kadang membuat beberqpa hari terasa aneh.

Pada dasarnya, untukku, buku ini seperti ringkasan hal-hal yang disampaikan orang-orang di sekitarku. Dan aku bersyukur akhirnya aku menemukan ide Adler ini dibaca banyak orang.

Aku sama sekali nggak ingin menyalahkan buku ini untuk "kemalasan"ku dalam membaca akhir-akhir ini. Ini buku terakhir yang aku baca sebelum aku jadi kurang minat dengan semua cerita fiksi akhir-akhir ini. Buku ini bagus. Terlalu bagus, malah. Sehingga membuat aku yang masih jarang membaca ini terpesona sampai "membacanya" berulang kali dalam ingatan.
Mungkin kelak, aku akan mengingat buku ini sebagai buku-yang-aku-endus-tiap-kali-membacanya. Entah kenapa, setiap baca buku ini rasanya seperti menajamkan indra penciumanku (secara langsung: melebarkan lubang hidung). Tokoh utama dalam buku ini (seperti kebanyakan buku yang aku sukai), sangat rasional dan individualis sekali. Bedanya dari buku lainnya, Grenouille sangat "tersiksa" dengan dunia spesialnya. Keseruan "pembunuhan" berdasarkan masalah ini menjadi lebih terasa, menurutku. Mengingat alasan yang mendasari dia membunuh semua orang itu.
Beberapa kalimat yang membuatku termotivasi:
Padahal nalar hanya bermanfaat jika seseorang memiliki keyakinan, rasa aman, dan ketenangan.

Rasa syukur dan kerendahan hati membuncah mendeburi batin. "Terima kasih," ucarnya perlahan. "Terima kasih, wahai Jean-Baptiste Grenouille, karena telah menjadi apa adanya dirimu!" Ia begitu terharu, oleh diri sendiri.

Lalu ia berhenti berpikir. Berpikir membuat kepalanya sakit.

Meskipun berpikir membuat kepalaku juga sakit. Ide juga membuat kepalaku sangat penuh. Tapi, menulis ini membuatku lebih ringan. Rasanya aku bisa melanjutkan hidup dengan lebih tertata dan tentunya, melanjutkan baca buku cheesy lainnya.

Baca buku ini saat benar-benar sedang sibuk dan sakit gigi. Entah kenapa berhasil membuat aku tertawa, atau setidaknya tersenyum selama membaca buku ini.
Rasanya, kalau mau kembali lagi ke buku ini, buka halaman mana pun dan baca dari situ sudah sangat menyenangkan.