Take a photo of a barcode or cover

satriafii 's review for:
Habis Gelap Terbitlah Terang
by Raden Adjeng Kartini, Armijn Pane
Entah dari mana aku dengar/lihat bahwa buku ini menjadi bacaan wajib bagi murid-murid di negeri seberang. Lalu, aku putuskan membaca buku ini saat iseng berkelana di gramedia digital dan bertemu dengannya. Aku pembaca yang lambat, tapi karena itu justru rasanya menyenangkan membaca surat-surat beliau. Rasanya seperti melihat orang-orang berbincang dengan sahabat-sahabatnya. Semangat, kegelisahan, kekecewaan, kegembiraan, dan bahkan rasa cemas bisa dirasakan melalui surat beliau. Beliau mengakui bahwa beliau sangat beruntung memiliki pengetahuan yang cukup untuk berjuang. Sehingga sampai akhir, beliau benar-benar berjuang mewujudkan mimpinya.
Jika dilihat dari kacamata seorang perempuan Jawa yang 'bebas' hari ini, kumpulan surat beliau ini menggambarkan betapa beratnya perjuangan perempuan dahulu untuk sekadar menimba ilmu.
Pemikiran setelah baca keseluruhan buku ini:
Aku jadi pengen tahu, dari mana asalnya budaya merayakan Hari Kartini dengan beriang-riang meninggalkan pelajaran? Semangat yang aku baca dari buku ini sangat berbeda dengan semangat yang dibawa setiap tanggal 21 April.
Mungkinkah karena Ibu Kartini adalah wanita Jawa yang terpesona akan kebaikan budaya Belanda namun tetap njawani? Atau hanya karena budaya turun temurun?
Bayanganku, dengan membaca buku ini, 21 April akan menjadi hari mengejar cita-cita: belajar atau berjuang.
Jika dilihat dari kacamata seorang perempuan Jawa yang 'bebas' hari ini, kumpulan surat beliau ini menggambarkan betapa beratnya perjuangan perempuan dahulu untuk sekadar menimba ilmu.
Pemikiran setelah baca keseluruhan buku ini:
Aku jadi pengen tahu, dari mana asalnya budaya merayakan Hari Kartini dengan beriang-riang meninggalkan pelajaran? Semangat yang aku baca dari buku ini sangat berbeda dengan semangat yang dibawa setiap tanggal 21 April.
Mungkinkah karena Ibu Kartini adalah wanita Jawa yang terpesona akan kebaikan budaya Belanda namun tetap njawani? Atau hanya karena budaya turun temurun?
Bayanganku, dengan membaca buku ini, 21 April akan menjadi hari mengejar cita-cita: belajar atau berjuang.